Tuesday, February 06, 2007

Catatan Ummi


Bukan untuk membuka luka, tapi untuk mengenang yang sangat kami cintai, Emih tersayang...

8 January 2007
Entah kenapa Senin itu, hari pertama masuk kantor setelah cuti panjang akhir tahun, saya lebih sreg memakai baju berwarna hitam ke kantor. Dari mulai rok, atasan, sampai jilbabpun hitam polos, kecuali sweater tanpa lengan yang berwarna abu-abu.

Sehabis sholat shubuh tadi saya buka handphone, ternyata tadi malam jam 22:13, A Dede, kakak saya no-3, sms : “Assalamuálaikum, gimana khabarnya, baik? Udah tidur tah? Sebelum tidur jangan lupa berdoa. Buat keluarga disini dan keluarga di Waled. Dah ya, good night.”
Saya termasuk dekat dengan A Dede, kami biasa becanda, dan saling olok lewat sms. Pagi itu langsung saya balas : “Alhamdulillah baik. Udah bangun tah? Bangun tidur jangan lupa berdoa. Buat keluarga disini dan keluarga di Depok ya.. :D”.

Sesampai di kantor saya langsung telpon,
“Nci jangan berfikir buruk dulu ya, tenang aja, ga usah berfikir macem-macem”, suara A Dede terdengar serius, membuat saya yang awalnya siap-siap mengcounter ledekannya jadi grogi, dan mulai khawatir.
“Ada apa sih?”
“Emih tadi malam dibawa ke Rumah Sakit..”,
Ya Allah… lemas sudah seluruh persendian. Saya tidak sanggup berkata apa-apa. Emih, panggilan kami untuk ibu, memang menderita hipertensi dan diabetes melitus.
“Tapi sekarang udah stabil kok. Kemarin gula darahnya drop sampai 70, dan tensinya sampai 180. Sekarang udah normal, sedang istirahat, nanti aja kalau mau ngobrol.”
“Udah ngga usah nangis, udah gpp”,
hibur A Dede mendengar saya terus menangis. Seharian itu otomatis saya tidak bisa konsentrasi terhadap apapun.

Malam harinya, Alhamdulillah saya bisa bercakap-cakap dengan Emih. Suara beliau memang tidak seperti biasanya yang terdengar selalu bersemangat. Kali ini agak lemah, tapi kebiasaanya jika mengobrol, selalu panjang lebar, tetap sama. Sekitar 10 menitan kami mengobrol,
“Teu nanaon teu uih oge, karunya, kakara nyampe Jakarta, uih deui. Bisi cape.” Duuh… seorang ibu memang tiada duanya, padahal beliau yang sakit, tapi masih juga memikirkan kondisi anak-cucunya. Beliau lebih prefer saya untuk tidak pulang, karena takut kecapekan akibat bolak-balik terus Cirebon-Depok.

Mendengar suara Emih, membuat saya agak tenang. Saya berfikir, Emih sudah baikan, tinggal istirahat saja barang 1-2 hari di RS.
Esoknya saya terus memonitor keadaan Emih, lewat telpon kakak-kakak saya yang bergantian standby di RS. Setenang-tenangnya anak, mendengar sang ibu sakit, pasti khawatir tetap ada. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang, dan meminta cuti kembali pada atasan saya. Ada perasaan tidak enak juga, setelah cuti 2 minggu, dan baru masuk 3 hari, sudah minta cuti lagi, tapi saya sudah tidak peduli, ngga mungkin kan ibu saya di RS, saya berdiam diri saja.

11 January 2007
Setiba di RS, saya, Aa bersama Ceu Ati, kakak no-1, yang pulang bareng (ceu Ati tinggal di Karawang), langsung menuju ruang ICU RS Waled. Kami terkejut melihat kondisi Emih. Selang oksigen, selang infus juga kabel pemantau denyut jantung, melilit di tubuh beliau. Emih terlihat pucat dan gelisah. Dokter penyakit dalam mendiagnosa, jantung Emih sudah “kena” akibat diabetesnya. Kami tidak sabar melihat pelayanan RS tersebut yang lamban dan memutuskan memindahkan Emih ke ICU RS Pertamina Cirebon, yang katanya punya reputasi bagus.

Ceu Elis bercerita bahwa selama 2 hari ini Emih tidur terus. Dokter mengatakan sengaja diberi obat tidur agar istirahat, soalnya tamu yang berkunjung tak henti-hentinya. Saya juga heran ruang ICU, VIP lagi, kok bebas tamu begitu. Apa para dokter dan perawat tidak punya kekuasaan untuk mencegah pengunjung masuk ya?

Setelah kakak saya kembali mempertanyakan kondisi Emih yang terus tidur selama 2 hari, dokter memutuskan untuk menghentikan suplai obat penenang ke tubuh Emih. Dan sejak distop obat penenangnya itulah Emih terlihat gelisah. Padahal sebelum diberi obat penenang, Emih sudah terlihat segar, sampai bisa menerima telpon saya. Wallahu ‘alam.

Setelah mendapatkan pertolongan pertama di RS yang baru ini, kami sedikit lega, melihat Emih yang tidak terlihat gelisah. Beliau dapat tidur miring kanan, maupun miring kiri. Kami hanya bisa melihat dari kaca, karena tidak satupun keluarga diperbolehkan masuk menemani. Ah… apakah manusia memang selalu tidak puas terhadap keadaan dirinya? Di RS ini, kami ingin menemani beliau, setidaknya satu orang diantara kami diizinkan untuk berada di samping Emih, namun pihak RS melarang.

Sekitar pukul 10 p.m, adik bungsu kami, Imas, baru tiba dari Sukabumi. Jadi sudah lengkaplah seluruh putra-putri Emih, berkumpul. Dengan sedikit memaksa, kami meminta izin untuk masuk ke ruang ICU untuknya. Akhirnya diperbolehkan masuk juga, dengan catatan sendiri saja dan tidak boleh lama-lama. Iya deh terserah, pokoknya boleh masuk…

Cukup lama juga Imas didalam, sekitar 30 menitan. Saya lihat Emih sudah mulai gelisah lagi, melihat kondisi itu Imas langsung memanggil perawat (mereka standby disitu, tetapi di dalam ruang kaca), setelah melihat sebentar mereka cuma bilang, “Itu pengaruh gula darah mbak, jadi gelisah terus”. Beberapa menit kemudian Imas kembali memanggil perawat, “Mas, tolong ibu saya, ini gimana??”, dengan agak memaksa.

Baru setelah itu mereka terlihat sibuk, 2 orang perawat, ditambah 2 orang dokter, yang salah satunya dokter spesialis jantung. Saya yang sedari tadi mengamati dengan harap-harap cemas dari celah-celah gorden yang sedikit tersibak, akhirnya dipersilahkan masuk.
“Ibunya sedang kritis mbak..”, Dokter memberitahu saya. Entah perasaan seperti apa yang saya rasakan waktu itu. Saya genggam tangan Emih sambil terus memanggil-manggilnya dan mengajak beliau menyebut asma Allah.

“Ya Allah, selamatkan Emih,” tak putus-putusnya saya berdoa. Dokter dan perawat sibuk memberikan nafas bantuan dan entah menambahkan apa saja ke selang infus Emih. Sampai akhirnya monitor pemantau denyut jantung tidak lagi menggambarkan grafik turun naik.

“Ya Allah.. Robbiii….”, tubuh saya terasa melayang, ketika dokter melepaskan semua selang yang menempel di tubuh Emih, dan mundur dari tempat beliau berbaring.
“Kami hanya berusaha, tapi ada yang lebih menentukan”, mungkin seperti itulah kira-kira kata-kata dokter, yang terdengar sayup memberi penjelasan kepada keluarga kami. Saya tidak tahu siapa saja yang menggendong saya keluar dari ruangan tersebut. Yang saya tahu saya sudah berada di lorong rumah sakit dalam pelukan Aa.
“Inna Lillahi wa inna ilaihi rojiun”, Emih meninggalkan kami dengan senyuman manis tersungging di bibirnya. Saya ingat, senyuman itulah yang tergambar di wajah beliau ketika melihat cucu-cucunya bermain dan bersenda gurau. Senyuman bahagia yang sangat tulus…

"Ya Allah ampunilah dosa-dosanya, limpahkanlah rahmat kepadanya, hapuskanlah kesalahannya, muliakanlah tempatnya, lapangkanlah kuburnya, dan bukakanlah pintu syurga baginya… Amiin."

8 comments:

Anonymous said...

Mbak, bunda & kel turut berduka ya atas meninggalnya Ibunda tercinta, semoga ibunda suda tenang di sisi Allah sampai kita bertemu di Surga kelak. amiin

Nia said...

Turut berduka ya Bun. Semoga arwah Emih tenang di sisi Allah...

Unknown said...

teh....saya dan ayahnya Nasywa ikut berduka cita atas meninggalnya emih, yang tabah ya....

asli pas baca postingan ini ga tersa air mataku menetes, jd ingat almh Ibu yg sakitnya sama spt Emih dan tgl 29 jan yll tepat 3 thn beliau pergi untuk selamanya.

beruntung Emih msh melihat cucu2nya, sdgkan Nasywa ku tidak pernah melihat Eyang putrinya.

Anonymous said...

Innalilahi wa innailaihi ro'jiun.

Turut berduka cita ya atas perginya ibunda tercinta :((

-ian- said...

saya benar2 sedih
tadinya saya baru mau bilang semoga cepat sembuh ketika baca setengah tulisan. tetapi ya ....
saya jadi inget Mamiku

Mama Firza said...

Turut berduka cita yach mbak.. semoga emih diterima di sisi Allah SWT *amin*

Irma said...

Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. Maaf teh, baru tahu beritanya. Semoga Alloh menerima segala amal baik beliau & memberi kesabaran untuk kel yg di tinggalkan...

Rey said...

maap mbak, aku telat 'datang'.
Turut berduka cita ya mbak, semoga amal ibadah beliau diterima disisi Allah SWT, aamiin. Dan semoga mbak Sri sekeluarga diberi kekuatan dan ketabahan